
SELALU ada kali pertama untuk setiap hal. Dan bagi saya, inilah saatnya menantang diri untuk keluar dari zona nyaman yang selama ini akrab dengan literatur terjemahan. Perlahan, saya mulai mengecap satu per satu karya yang dilahirkan penulis lokal. Bukan bermaksud sok elit, tapi memang dulu saya memang lebih menyukai dan terbiasa dengan karya terjemahan dari penulis mancanegara ketimbang penulis Indonesia sendiri. Ditambah, saya memang cukup pemilih soal bahan bacaan, apalagi dari genre dan tema tertentu.
Namun, belakangan saya pelan-pelan mencoba beradaptasi dengan mulai menyelami berbagai genre yang di luar zona nyaman, lantas disusul dengan membaca beberapa karya dari penulis Indonesia. Salah satunya adalah buku kriminal-misteri berlatar sekolahan Jepang berjudul Project: INK karya Arsyanendra. Sejujurnya, ini adalah buku kedua dari penulis Indonesia yang saya baca, setelah Introver karya M.F. Hazim beberapa tahun lalu.

Mulanya memang terasa sulit. Harus menyesuaikan diri dengan atmosfer dan gaya menulis yang baru. Sebab saya menyadari ada perbedaan fundamental antara buku yang ditulis oleh orang Indonesia (yang punya ciri khas sendiri) dengan penulis luar. Tapi, tentu saya tidak boleh membandingkan. Dan di sinilah saya sekarang, berhasil menyelesaikan tantangan ini dan merampungkan buku tersebut, meskipun butuh sedikit waktu.
Sebelumnya, terima kasih kepada penulis atas cuitan mencari reviewer untuk buku ini di X (Twitter) beberapa waktu lalu, yang kemudian berlanjut ke pesan pribadi Instagram hingga akhirnya novel ini sampai ke tangan saya. Tentu saja, tak lupa juga buat Haebara Publisher, selaku penerbit telah berkenan mengirimnya ke luar pulau Jawa. Meski sempat ada drama kelupaan selama dua pekan setelah konfirmasi alamat, haha.
{tocify} $title={Daftar Isi}
Sekilas tentang Buku
| Judul | Project: INK |
| Penulis | Arsyanendra |
| Tebal | 248 hlm. |
| Penerbit | Haebara Publisher |
| Cetakan | Pertama, Maret 2023 |
| ISBN | 978-623-5850-35-4 |
“Hanya butuh satu tetes tinta untuk mencemari satu sumur. Kala hitamnya telah berbaur, apakah kau bisa memurnikannya kembali?” Itulah kalimat pertama yang saya temukan di sampul belakang buku ini. Sebuah blurb yang cukup menarik. Namun, sebelum itu, sebenarnya rasa bimbang sempat menghinggapi saya waktu melihat unggahan penulis mencari reviewer di salah satu base di X. Terlintas di pikiran saya: Haruskah saya harus ikut jadi reviewer buku ini? Bisakah saya baca buku ini sampai habis? (Padahal belum tentu terpilih, pede amat!)
Usai membaca blurb, saya langsung membaca cuplikan buku ini di GWP dan berbagai ulasan daring sebab merasa cukup penasaran. Meski begitu, keraguan untuk gagal menyelesaikan buku (atau istilah anak bookstagram, DNF—did not finish—enggak kelar) tetap muncul. Apalagi, nyaris beberapa bulan belakangan sejak Oktober 2023, saya sempat mengambil jeda sebentar dari kegiatan membaca (yang kenyataannya sampai berbulan-bulan). Kebanyakan buku yang saya coba baca waktu itu pada akhirnya tidak saya lanjutkan karena berbagai hal. Entah karena mood yang berubah-ubah, distraksi dengan pelepasan dopamin tanpa akhir dari sosial media, atau tumpukan kerjaan di real life yang rasanya tak pernah berakhir. Kalau dijabarkan, barangkali paragraf ini tak cukup untuk menjelaskan.

Saya biasa menyelesaikan satu judul paling lama 7-14 hari (jika harus menyesuaikan dengan kegiatan di real life), dan kalau mengikuti mood yang tidak pasti ini seperti waktu membaca Project: INK, jadi sebulan—padahal jumlah halamannya juga tidak banyak, di bawah 300 halaman malah. Dalam beberapa kasus lain, mungkin bisa sampai berbulan-bulan.
Kisah dalam Project: INK sendiri menyoroti sebuah klub detektif di SMA Aoyama yang terdiri atas empat murid: Itsuki, Eiji, Janice, dan Minami. Yang mana, pada suatu hari, petaka mendadak menimpa bunkasai (festival budaya) yang tengah digelar di SMA Aoyama—dua murid terjatuh dari atap. Tiga bulan sebelumnya, di SMA itu pula, seorang siswa terluka parah karena diserang temannya sendiri.
Untuk beberapa kesempatan, sepertinya kita sering lupa memanusiakan manusia. Kita terlalu sibuk menghakimi tanpa melihat kondisi. — hlm. 159
Dua petaka itu sama-sama punya satu kemiripan: para pelaku tiba-tiba mengamuk tanpa sebab yang jelas. Dan begitulah, akhirnya empat sekawan dari klub detektif itu ditugaskan untuk mencari kebenaran dengan menyelidiki misteri yang menyelubungi angkatan mereka.
Yah, kalau dibaca sekilas dari blurb-nya, premis penulis tampak cukup menjanjikan. Project: INK memberi kesan detektif-detektifan yang mengingatkan saya pada Sherlock Holmes. Apalagi dalam bab pertama, kita juga disuguhi deskripsi tokoh yang berkostum ala Sherlock dengan memakai topi deerstalker dan kaca pembesar. Bedanya, di buku ini tokohnya adalah anak-anak sekolahan yang berperan sebagai detektif untuk menyelidiki kasus di sekolah mereka, dengan perspektif yang berbeda atas sebuah masalah.
Alur dan Gaya Bercerita
Project: INK diceritakan dengan alur maju melalui penuturan sudut pandang campuran. Sebagian besar memang sudut pandang orang pertama yang mendominasi. Dari total 24 bab (tidak termasuk prolog dan epilog), hanya dua bab yang dituturkan melalui sudut pandang orang ketiga (POV 3). Keputusan penulis memakai alternatif sudut pandang campuran pada bagian yang diperlukan itu memang sudah tepat, terutama saat keterlibatan banyak tokoh secara bersamaan.
Sementara, sebanyak 22 bab sisanya menggunakan sudut pandang orang pertama (POV 1) yang mayoritas adalah jatah Itsuki (14 bab); Eiji (2 bab); Janice (5 bab); Minami (1 bab)—Niat amat saya ngitungnya! Seperti yang tampak, ada ketidakadilan pembagian jatah sembako narasi dalam buku ini, tetapi tidak bisa dibilang salah. Dari sini terlihat bahwa penulis sepertinya sengaja menyorot salah satu tokoh terus-menerus, mungkin karena memang itulah tokoh kunci dalam cerita yang bisa menjadi petunjuk bagi pembaca akan jawaban yang disuguhkan di akhir.

Sepanjang cerita, Project: INK bakal membawa kita dalam lika-liku klub detektif SMA Aoyama dengan penyelidikan mereka diselingi kehidupan personal masing-masing tokoh, tingkah yang... pokoknya dikemas sesuai penokohan anak SMA.
Pada awal-awal (orientasi) buku ini, saya kerap kali merasa alurnya agak lambat—tidak bisa dimungkiri saya kadang terkantuk-kantuk (pengaruh font juga). Namun, begitu masuk ke konflik (rising action) dari pertengahan menjelang akhir tiba-tiba saya semangat lagi tertarik untuk terus melanjutkan. Tensinya mulai naik turun, dan saya penasaran dengan akan kelanjutan cerita.
Saya menyadari penulis cukup piawai dalam menggambarkan situasi saat konflik itu terjadi, bagaimana perubahan sudut pandang secara mendadak dapat menjadi pengaruh besar jalannya cerita.
Resiliensi seorang manusia tidak lebih baik dari kawat baja. Jika terlalu kena tempa, ia akan patah juga. Mungkin tidak tampak, tetapi kau bisa periksa dari sorot matanya. Bahwa keinginannya untuk tetap hidup pun tak bisa memenuhi ruang barang sepetak. — hlm. 181
Siang tadi, sejam sebelum tulisan ini mulai ditulis, saya sempat menghubungi penulis dan mengetahui bahwa ia juga melakukan riset (supaya bisa menciptakan petunjuk-petunjuk yang diselipkan) dengan didasarkan pada petunjuk nyata.
Dari segi narasi, saya suka dengan pilihan kata yang dipilih penulis. Selain perubahan sudut pandang tadi, rasanya penulisan buku ini makin ke ujung makin berkembang. Begitu banyak kosakata baru yang saya temui, dan hal ini juga membuktikan bahwa penulis memiliki perbendaharaan kata yang kaya. Namun, dalam beberapa bagian kadang-kadang saya merasa ada penggunaannya yang bisa dibilang kurang tepat atau kurang enak dibaca karena terlalu sering dipakai, jadi terkesan agak repetitif. Mungkin, alangkah lebih baik kalau saja penulis bisa menggunakannya seperlunya saja.

Di sisi lain, ada juga satu hal yang mengganjal, yaitu penggunaan “Nona” yang dituturkan oleh masing-masing tokoh—termasuk pada bab yang memakai sudut pandang orang ketiga juga. Rasanya orang yang berbicara adalah orang yang sama. Berhubung Project: INK secara garis besar dituturkan oleh banyak tokoh sekaligus, sepertinya hal ini dapat dimanfaatkan oleh penulis sebagai pembeda (ciri khas) antar tokoh. Sementara tokoh yang lain bisa saja memakai kata ganti umum seperti sebutan dia/anak/murid/gadis/perempuan, atau menyebut nama tokohnya langsung. Bila tidak ada pembeda antara satu penutur dengan penutur lainnya, maka pembaca akan kebingungan untuk membedakan tokoh mana yahg sebarnya sedang bercerita.
Namun, sebetulnya saya juga tidak terlalu mempermasalahkan ini—dan saya juga tidak mau menggurui; saya apalah—soalnya penulis juga sudah membagi setiap bab dengan diawali keterangan sub judul berupa nama tokoh yang mendapat giliran bercerita. Jadi, pembaca enggak akan merasa bingung.
Tata Letak dan Isi
Dari segi ejaan, typo-nya sudah sangat terminimalisir, hanya ada beberapa saja; pun dari segi layout sebenarnya sudah cukup rapi. Pemilihan font sudah oke, tapi rasanya dengan pilihan Cambria, jujur bagi saya pribadi, itu menbuat isinya terkesan membosankan. Penggunaan Cambria sebagai font isi membuat narasinya terasa sangat lambat waktu dibaca.
Pemberian pemotongan suku kata (hyphenation) adalah tindakan yang tepat, sehingga tak ada celah spasi yang terlalu berjarak antar kata, Namun, saya juga melihat adanya kesalahan penomoran: terpisahnya penomoran pada bagian “Prolog” dan “Episode 1” (bab satu) dengan bab-bab setelahnya, yang mana seharusnya menyatu.

Ada juga satu judul bab tidak terformat sebagai heading dan akhirnya tidak tertaut dalam segmen “Daftar Isi” dan akhirnya terlewati. Sedikit lagi, dengan penghapusan spasi menjorok pada setiap paragraf pembuka bab, penambahan ukuran huruf kisaran 0.3-0.5 cm, serta pengurangan sedikit saja spasi antar paragraf, sepertinya kualitas layout Haebara dapat setara dengan kualitas layout penerbit-penerbit mayor.
Penutup
Terlepas dari semua itu, lebih-kurangnya—sebab memang tidak ada yang benar-benar sempurna—saya menikmati pengalaman membaca Project: INK. Buku ini layak dibaca, apalagi bagi kamu yang tertarik soal Jejepangan.
Selalu ada awal dalam sesuatu, dan Project: INK hanyalah awal bagi penulis. Mungkin penulisan buku ini terkesan agak kaku, tetapi saya yakin penulis sedang berbenah dan berkembang. Saya juga pernah membaca tulisan yang baru-baru ini ditulisnya, dan tentu, banyak perubahan besar dengan yang sekarang.
Waktu membaca buku Project: INK, mode penulis dan layouter saya ikut on bersamaan, jadi maaf apabila tulisan ini jadi kepanjangan, hehe. Seiring halaman bergulir, banyak pula hal yang saya sadari. Saat kita sibuk mencari-cari kekurangan pada suatu hal, kita akan berakhir dengan belajar membenahi dan menjadikan hal itu sebagai refleksi untuk ke depannya.
Postingan ini ditulis pada 28 Juli 2024 dan terakhir direvisi pada 24 Juli 2025 setelah pemindahan blog dan pergantian domain.