
BAGI kita, merekalah monsternya. Namun, bagi para monster, kitalah monsternya. Setelah mengetahui kebenarannya, bagaimanapun, aku takkan menyangkal semua itu. Kau harus melihat dari sisi para monster; dengarkan mereka dan buka mata agar dapat melihat kebenaran itu dengan mata kepalamu sendiri. Untuk mengerti bahwa kita hanyalah kaki tangan yang berkuasa dan kacung bagi pemerintah. Mereka ingin kita membunuh, kita pasti melakukannya. Jika menolak, mereka bakal tetap membuat kita melakukannya. Mereka akan membuat kita menjadi orang yang buta—tidak berhati dan belas kasih. Bahkan dengan alat-alat itu... teknologi yang mereka ciptakan, mampu mengubah kita menjadi monster yang sesungguhnya.
. . .
Masih segar dalam ingatanku, tiga tahun lalu, pada tahun keempat sejak negara ini terancam oleh keberadaan makhluk-makhluk mengerikan yang kita kenal sebagai monster itu muncul bergerombolan dari dalam hutan dan mulai menyerang penduduk setempat, para prajurit khusus secara besar-besaran dikerahkan oleh pemerintah untuk mengatasinya. Mereka disebar di beberapa wilayah perbatasan hutan yang diketahui sebagai sarang monster.
Namun, karena keterbatasan prajurit sebab waktu itu populasi umat manusia di seluruh dunia tengah mengalami kemerosotan, aku mendapat surat tawaran untuk menjadi bagian dari prajurit khusus. Imbalannya berupa sejumlah uang dengan nominal tak main-main. Kebetulan, waktu itu aku juga sedang butuh uang dan baru mengalami PHK di tempat kerja sebelumnya, tanpa pikir panjang aku menyatakan kesediaanku. Dan esok harinya, aku langsung melakukan check-up di pusat pangkalan prajurit khusus.
Sebelum benar-benar ditugaskan ke berbagai pos perbatasan dan mengambil andil dalam tugas ini, aku harus melalui serangkaian tes fisik dan mental, lalu dilanjutkan dengan implan sebuah micro-device di bawah telinga, entah apa nama dan gunanya, tetapi mereka hanya bilang untuk menghilangkan rasa takut dan mengatasi trauma di masa mendatang.
Aku bertanya-tanya, kenapa mereka tidak beri pil atau obat lain saja untuk menghilangkannya? Toh, bukannya di masa sekarang banyak obat-obat semacam itu diproduksi secara massal oleh perusahan farmasi dunia. Lantas, kenapa pula rasa takut harus dihilangkan? Memangnya monster semenakutkan apa yang ada di luar sana? Tak seorang pun yang pernah benar-benar melihat monster itu selain para prajurit khusus yang terjun langsung dalam misi ini. Bahkan TV nasional cuma memberitakan soal hasil perang terhadap monster secara terus-menerus tanpa tahu seperti apa atau bagaimana wujud monster-monster itu. Pemerintah seakan melarang kita untuk tahu. Satu-satunya cara untuk mendapatkan jawabannya adalah dengan bergabung sebagai prajurit khusus seperti yang kulakukan.
. . .
Penugasan pertamaku adalah di Pos Level 1 di selatan Mevnts, yang berbatasan langsung dengan hutan Phyxs. Setiap dua jam sekali, secara berkelompok kami diutus untuk menelusuri hutan dan kembali dua jam berikutnya untuk bergantian dengan gugus lain. Satu gugus terdiri atas 7 hingga 10 prajurit khusus. Dan secara bersaman disebar dengan gugus lain dengan jarak satu kilometer. Tugas kami hanyalah mencegah para monster agar tidak keluar dari hutan dan menembak mereka jika melihat salah satunya.
Bagaimana mungkin aku menembaki monster jika wujud atau rupanya saja aku tidak tahu? Selama hari-hari pertama bertugas di pos tugas itu, belum sekalipun aku pernah melihat salah satu dari para monster itu. Lagi-lagi, rasa ragu menuntunku pada hulu yang sama: Apakah monster yang dikatakan itu benar-benar ada?
Lebih dari seminggu, akhirnya waktu terus bergulir tanpa ada pergerakan dari para monster. Aku mulai menyesali keputusan bergabung dengan prajurit khusus karena hanya buang-buang waktu saja. Bisa saja aku keluar, tapi sekarang sekarang sudah terlambat. Dalam surat tawaran yang kuterima sebelumnya, ada lampiran berupa surat perjanjian yang jelas-jelas menyatakan bahwa tidak ada yang boleh mundur sebelum melenyapkan salah satunya, atau imbalannya hangus. Namun, aku tidak ingin semua jerih payah ini sia-sia.
. . .
Tidak ada hasil pasti. Selama berminggu-minggu, aku terkurung di pos tugas dan bolak-balik menelusuri hutan. Nihil. Namun, hari itu, di hari kelabu pada pertengahan Juni 202X, gugus kami menemukan sesuatu yang berlokasi jauh di dalam hutan yang gelap—barangkali tiga atau empat kilometer jauhnya dari pos tugas. Tampak beberapa pondok jerami layaknya tempat bernaung orang-orang pedalaman atau orang-orang pada zaman primitif. Pondok-pondok itu mengelilingi sebuah bekas api unggun besar yang gugus kami yakini sebagai sarang monster.
Yang benar saja! Buat apa pula monster membangun pondok jerami dengan api unggun? Memangnya mereka mau berkemah?
Selama tiga puluh menit, kami bersembunyi dan mengawasi area hutan di sekitar tempat itu. Tidak ada tanda-tanda kedatangan monster sampai pandanganku mulai mendapati sesuatu yang kecil dengan sosok tidak karuan dan sulit untuk dideskripsikan bagaimana wujud sebenarnya dalam kata-kata. Kira-kira makhluk itu seukuran anak-anak atau apalah, tampak semacam kombinasi antara manusia dan binatang yang amat aneh. Inikah sosok monster itu?
Lantas, ia berlari cepat masuk ke dalam pondok.
Kemudian secara mendadak, serbuan tembakan membahana. Sebelum makhluk itu berada di dalam pondok jerami, ia telah terkapar lebih dahulu di atas tanah yang basah bekas hujan semalam. Entah kenapa, aku tak bisa menembak sama sekali dan hanya bergeming waktu gugusku menembak serentak. Rasanya ada sesuatu yang salah.
Selama beberapa saat, kami masih menunggu dan diam di persembunyian kami karena yakin masih ada yang lainnya. Betul saja, dua menit setelah kami—maksudku mereka, sebab aku tak masuk hitungan—melenyapkan monster pertama, monster lain yang ukurannya dua atau tiga lebih besar dari sosok sebelumnya muncul, berlari dan menjerit-jerit menuju si monster kecil.
Jeritannya terdengar memekakkan; tajam dan menusuk gendang telingaku. Kuperhatikan rekan-rekan gugusku, dari reaksi mereka juga tampak merasa sangat sangat marah dan terganggu. Sebelum monster besar itu mencapai si monster kecil, gugusku kembali melayangkan tembakan. Dan monster itu pun roboh seperti sebelumnya.
Tanpa diduga, tak lama, monster-monster lain ikut bermunculan dan melakukan hal yang sama. Suara jeritan dan erangan memenuhi hutan sebelum disusul suara tembakan. Seekor monster muncul mendekat ke arah kami sambil mengangkat kedua tangan dengan cakar-cakar yang kotor dan mengerikan sembari mengeluarkan suara tak jelas dan berisik.
Apa maksudnya ini? Kenapa ia mengangkat kedua tangan seakan menyerah? Bahkan tak satu pun dari mereka yang berani mendekat kepada kami selain yang satu ini. Namun, apalah gunanya juga? Tanpa kenal ampun, gugusku menembaki monster itu, dan kini si monster terkapar tak berdaya. Aku masih tidak berani menembak. Seseorang melontarkan cacian agar aku menembak, tapi aku masih tak bisa melakukannya.
Lebih dari satu jam berlangsung, hari hampir gelap dan kami hendak meninggalkan hutan, kepalaku tiba-tiba terasa pusing. Telingaku berdenging kencang. Pandanganku berkunang-kunang dan rasanya aku melihat kelebatan tak jelas. Semacam glitch. Aku berbalik dan menatap monster-monster mati itu dan penglihatanku semakin tak jelas—campur aduk entah bagaimana.
“Sulut!” Aku terkesiap saat komandan gugusku tiba-tiba melemparkanku sebuah tas pembakaran kepadaku. “Dasar pecundang.”
Aroma darah segar dan bensin menguar begitu aku mendekat menuju onggokan monster yang sudah kami bentuk seperti pohon natal. Alih-alih berbau busuk seperti yang dibilang orang-orang, malahan semua monster ini berbau amis.
“Sekarang!”
Saking gugupnya, tas pembakaran terlepas dari tanganku, tapi dengan cepat aku menangkapnya dan segera memasang tas itu di punggung. Tas ini lumayan berat, padahal isinya cuma gas. Segera kuarahkan selang pada onggokan monster itu. Waktu api mulai tersulut dan membesar, oang-orang di kelompokku bersorak kegirangan.
Ketika aku akan berbalik, sekilas kutatap wajah seekor monster yang tengah membara. Percaya atau tidak, yang kulihat hanyalah sesosok manusia yang telah mati. Matanya terbuka, melotot menatapku dan aku terlonjak kaget ke belakang dan menimpa tubuh-tubuh monster lainnya yang sudah mati. Tidak. Ini tidak mungkin. Aku bangkit dan menatap mereka semua dan mendapati wajah mereka dalam wujud manusia. Tubuh mereka penuh luka dan tembakan; darah di mana-mana.
Tidak, tidak, tidak. Aku mesti berhalusinasi.
. . .
Minggu berikutnya, aku dikirim ke pusat medis prajurit khusus untuk berkonsultasi dengan seorang dokter. Namanya dokter Walsh. Dia adalah mantan prajurit khusus yang kini menjabat sebagai dokter di pusat medis kami. Dialah yang melakukan penanaman perangkat kecil ini. Perangkat yang diklaim bisa menghilangkan rasa takut. Dia bilang, perangkat ini juga bermasalah sehingga membuat penglihatanku campur aduk sebelum akhirnya menggantinya lagi dengan yang baru.
. . .
Pada bulan November, aku dipindahkan ke Pos Level 2 di Marxs. Tidak seperti yang pertama, pos kedua ini ternyata lebih ramai—lebih banyak prajurit, lebih banyak monster. Berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya, setelah penggantian perangkatku dilakukan dan konsultasi berkala dengan Dokter Walsh, aku mulai terbiasa. Melenyapkan monster-monster itu adalah perkara mudah. Aku sudah tidak lagi merasa takut dan berhalusinasi.
Dalam kurun waktu satu setengah bulan, sudah lebih dari 13 monster berhasil kubasmi dan langsung memperoleh kehormatan sebagai salah satu prajurit terbaik. Itu sudah lebih dari cukup agar bisa keluar dari tempat ini, tapi rasanya aku tidak menginginkannya lagi. Ketimbang kembali jadi masyarakat biasa, aku ingin lebih lama lagi di sini untuk melenyapkan monster-monster itu. Betapa menyenangkan ketika melenyapkan sesuatu demi kebaikan orang-orang. Kami di sini sebagai prajurit khusus adalah para pahlawan. Keberadaan kami sangat dibutuhkan.
. . .
Kupikir situasi ini akan baik-baik saja sampai seterusnya, tetapi semua itu tidak berlangsung lama ketika memasuki tahun berikutnya. Pada tahun kelima, aku mengalami hal yang sama lagi. Perangkatku tiba-tiba mengalami kerusakan. Hal yang sama terulang. Pandanganku tak karuan dan berubah-ubah. Aku bergegas menemui Dokter Walsh untuk melapor agar dia mengganti perangkatku, tapi aku tak bisa menemukannya di mana-mana. Dia tiba-tiba menghilang tanpa kabar.
”Di mana Dokter Walsh?” tanyaku pada seorang perawat pria yang kutemui di lorong.
”Siapa?” katanya. ”Tidak ada yang namanya Dokter Walsh di sini.”
Apa?
”Tidak mungkin. Saya biasanya berkonsultasi dengannya dan… dia yang mengganti perangkat saya.”
Dia menengok kanan-kiri seolah memastikan sesuatu, lalu tiba-tiba menarikku dengan kasar ke dalam sebuah ruangan. Dia memojokkan ke dinding dengan kasar. Kepalaku sedikit membentur dinding. Aku lumayan kaget dan agak bingung bagaimana harus bereaksi.
”Jangan sebut nama itu lagi!” katanya lirih tapi ketus. Bau obat-obatan yang menempel pada perawat itu membuatku megap-megap. “Atau kau akan bernasib sepertinya.”
Kemudian, begitu saja ia melepaskan pegangannya dan pergi dengan buru-buru tanpa kata-kata lain. Aku menghela napas berat, merasa lega, tapi juga agak waswas.
. . .
Suatu malam, dengan perangkat yang masih mengalami kerusakan dan aku tak tahu harus melapor pada siapa lagi sebab dokter lain yang menggantikannya juga sedang cuti, aku memutuskan untuk tetap ikut bersama gugusku menyusuri hutan. Posisiku berada di barisan paling belakang, awas terhadap pergerakan di sekitar.
Udara malam itu terasa begitu dingin. Peringatan yang kudengar di radio dari badan meteorologi juga telah memperingatkan bahwa suhu udara akan turun beberapa derajat. Aku harusnya memakai beberapa lapisan pakaian agar tidak kedinginan, tapi komandanku melarang dan malah membentakku.
Kejadian beberapa hari sebelumnya juga masih membuatku bertanya-tanya. Apa yang terjadi pada Dokter Walsh? Setelah Dokter Walsh, secara misterius pula, saat aku mencarinya sebelum pergi, perawat itu juga sudah tidak terlihat lagi. Ke mana dia? Entah dia ikut menghilang seperti Dokter Walsh, yang jelas semua ini terasa sangat janggal. Ada apa dengan semua ini cuma membuat aku bingung saja!
Lima menit setelah memasuki hutan, tiba-tiba aku merasakan pergerakan dari semak-semak di sampingku.
Monster?
Aku tidak yakin, tapi ketika berbalik tidak tampak apa-apa.
”Ada apa?” tanya prajurit di depanku tampak bersiap menembak dengan senapannya.
“Bukan apa-apa,” jawabku sambil menggeleng. ”Tetap jalan.”
Prajurit itu kembali menengok ke depan dan setelah mereka semua menjauh, aku diam-diam menuju semak-semak. Dengan moncong senapan siap menembak, mendadak sesuatu menghambur keluar dari sana.
Monster!
Aku nyaris menembak, tetapi yang keluar hanyalah seorang gadis yang tampak ketakukan. Rambutnya berantakan. Wajahnya kotor. Tubuhnya penuh bekas luka. Warna kulitnya sedikit gelap dengan mata yang besar.
Apa yang dilakukannya di sini? Seorang gadis berkeliaran seorang diri dalam hutan? Dia bergumam pelan, ”Jangan. Tolong... jangan tembak...”
”Apa?”
Menangkap kebingungan yang kupancarkan, dia ikut kebingungan. ”Kau mendengarku?
Aku mengangguk bingung.
”Sebagai seorang manusia?”
”Hah? Apa maksudmu?”
Mata gadis itu tampak berkaca-kaca seolah ingin menangis, tetapi ia malah tersenyum. ”Sudah bertahun-tahun,” gumamnya. “Orang-orang sepertimu—”
”Kau ini bicara apa?”
”Kami juga manusia!” Gadis itu mulai berseru dan menangis. Suaranya sudah pasti didengar gugusku. “Walau kami sedikit berbeda dengan kalian, tapi tidak sepantasnya kalian memperlakukan kami seperti ini!
Aku bingung, tak mengerti.
”Memburu dan menghabisi kami satu per satu. Semua yang kalian lakukan itu cuma kebohong—”
Lantas secepat kilat, sebuah peluru melayang di sebelah pipiku dan menghantam menembus kepala gadis itu. Kakiku gemetaran. Tubuhku terpaku.
Aku tidak mengerti.
Darah menyembul perlahan.
Aku tak tahu di mana salahnya.
”Apa yang kaulakukan, Nak!” Komandan gugusku berteriak dari barisan. Napasku memburu dan jantungku berpacu seakan meledak sebentar lagi. ”Tidak bisakah kau lihat monster di depan mata kepalamu sendiri?”
“Apa?”
Kutatap wajah gadis itu untuk memastikan. Matanya terbuka dan menatapku. Ia seorang manusia. Manusia. Kuputar tubuh pelan dan menatap mereka semua satu per satu tanpa kata-kata.
“Lupakan. Kita kembali,” ujarnya dan berpaling kembali ke jalur. Prajurit lain mengikuti di belakang.
Aku merasa sesuatu mendidih dalam darahku. Keringat mengucur dan udara menjadi terasa makin panas. Tanganku yang semula gemetar mulai memantapkan pegangan senapan.
Dor! Dor! Dor!
. . .
Bagi para monster, kitalah monsternya. Tidak perlu penyangkalan. Tidak perlu pembenaran.
Kita. Aku. Monsternya.
Begitulah kebenarannya.
Dan akan selalu begitu adanya.
. . .
[Secara harfiah cerita berakhir di sini. Namun, sebenarnya saya juga sudah menambahkan akhir tambahan. Akhir tambahan ini tidak wajib dibaca.]
. . .
Sebelum pemuda itu mematikan kamera, ia mengucapkan kalimat terakhirnya, “Siapa pun yang menemukan ini, kuharap kau melakukan hal yang benar. Selamat tinggal.”
Klik.
Ia berdiri dan mulai menaiki bangku.
Kemudian mulai mengalungkan simpul tali itu di lehernya.
Lalu, didorongnya bangku sampai jatuh dan lehernya tergantung pada simpul itu.
Napasnya tersekat.
Dan lampu mendadak berkedip-kedip.
Tali yang menahan bobot tubuhnya di leher, mendadak putus dan—
Ia tersentak dan membuka mata. Cahaya-cahaya terang memenuhi pandangannya. Perangkat besi melingkar seperti helm terpasang di kepalanya, terhubung dengan kabel-kabel berwarna keperakan. Sejemang ditatapnya ruangan itu, dan sadar bahwa itu bukan ruangan di mana ia merekam semua pengakuannya tadi.
Di mana aku? Pemuda itu bertanya-tanya. Ia coba menggerakkan tubuhnya, tapi kaki dan tangannya terkunci.
Pintu kaca bening terbuka dan seorang pria tua muncul dan berjalan ke arahnya. “Bagaimana simulasinya?”
“Dokter Walsh?”
Seketika pria tua itu itu membeku.
. . .
Catatan Penulis
Pembaca bebas menentukan akhirnya.
Namun, apabila bingung, saya jelaskan bagaimana akhirnya versi saya.
Jadi, ini ceritanya si tokoh utama sebenarnya sedang dalam sebuah simulasi virtual, dan di dalam simulasi itu si protagonis sedang bercerita tentang kebenaran soal monster di negaranya. Ia merekam pengakuannya, lalu mengakhiri hidupnya. Dan kemudian ia kembali terbangun di dunia nyata, hanya saja, ingatan yang diingatnya cuma ingatan dari dalam simulasi.
Inspirasi Menulis
Alih-alih terinspirasi, barangkali lebih tepat dibilang kalau kisah ini sebenarnya mengadaptasi premis pokok dari salah satu episode Black Mirror: Men Against Fire, tapi yang saya bikin ini versi low budget, haha. Mungkin jauh dari kata sempurna, tapi cuma ini kapasitas saya waktu itu.
Tulisan ini saya ikutkan dalam event kemanusiaan yang digelar oleh salah satu grup kepenulisan saya diami, Black Pandora Club pada Februari 2024. Tulisan ini adalah edisi revisi pada November2024 dengan judul awal “PENGAKUAN” dan “MONSTER” sebagai judul alternatif.
Inspirasi lain saya adalah dari kutipan dari Station Eleven, dalam komik grafis fiktif: To the monster, we’re the monster.